Tampilkan postingan dengan label Karya. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Karya. Tampilkan semua postingan

Senin, 09 Agustus 2021

CERPEN #2 - JOHAN

 

Milah Smart


Prakk! Terdengar lagi ada piring yang pecah di dapur. Entah piring ke berapa yang menjadi korban atas pertengaran ayah dan mamahnya Johan. Hampir setiap hari, Johan bersahabat dengan suana yang sangat keruh di rumahnya.  Selain piring pecah, meja ruang makan pun pernah menjadi saksi kemarahan ayah ketika betengah dengan mamah.

Ayah Johan adalah sosok yang keras kepala, tidak sayang istri dan pemarah. Setiap hari ayah menghabiskan waktunya untuk bermain judi bersama ke sembilan teman-temannya. Bahkan tak jarang para depkolektor datang dan menggedor rumah Johan untuk menagih hutang ayahnya. Sementara ketika itu Johanlah yang menghadapinya. Lantaran ketika mereka datang, ayah selalu tidak ada di rumah.

Jumat, 30 Juli 2021

Tentang Mila dan Sejuta Impiannya

Milah Smart

    Sejak duduk di kelas X SMA, Mila sudah menyukai buku-buku training motivasi. Berawal dari kebiasaan teteh Husnul (kakak peremuan kedua) yang kalau pulang dari kampusnya (UM Metro) pasti membawakan seabrek majalah. Saat mahasiswa pada umumnya pulang kampung dengan membawa oleh-oleh berupa kue, coklat, snack dan sejenisnya, teteh Husnul malah bawa majalah. hehe. Tapi dari majalah-majalah yang dibawanyalah sampai akhirnya banyak memepengaruhi hidup Mila. 

    Diantara majalah yang sering dibawa itu Majalah UMMI, majalah Ar-risalah, majalah remaja el-Fata dan beberapa majalah remaja lainnya (Mila lupa namanya). Ummi kami, suka dengan majalah UMMI. Kadang kalau kalau lagi telponan dengan teteh Husnul di pondok "Dede (Panggilan Umi ke teteh Husnul) kalau pulang, Ummi nitip Majalah Ummi ya. "Muhun mi, nanti ana belikan "jawab teteh mengabulkan permintaan Umi.

    Sejak kami kecil Ummi kami (Siti Masuro) memang suka membaca buku. Sedang Abi kami (Jalaluddin), beliau suka menemani orang yang baca. Walau Abi berkerja sebagai seorang petani, semangat belajar Abi juga sangat tinggi

    Biasanya kalau sore suka baca buku. Mila masih ingat sekali, dulu Abi suka baca Sirah Nabawiyah, bulughul maram, dan beberapa buku gerakan islam yang lembarannya sampe ratusan. Risalah Dakwah Hasan Al Banna juga dilalap. 

    Namun karena sibukannya Abi di ladang dan kebun, dan pas pulang sudah lelah jadi jarang membaca. Abi kadang menamani Umi yang lagi baca sambil menyenderkan pungguhnya di dinding rumah. (Nangunjar mun cek bahasa Sunda mah) hehe. Anak-anaknya juga nimbrung.

    Jika ada yang perlu dibahas biasanya Abi mengcut. Misal dengan ada tulisan yang didalamnya mengandung firman Allah tentang keluarga.  "Jagalah dirimu dan keluargamu dari Api Neraka." 

    "Kehela Nyai (sayang) ini kalimat yang tadi dibaca kumaha hartina."

    "Ya kita teh berat ya A jadi kepala keluarga teh. Harus menjaga istri dan anak-anak dari api neraka." Umi menanggapi

    "Kumaha ini barudak (anak-anak) pendapatnya" tanya Abi kepada kami

    "Aku! Ya kita harus saling menjaga bi. jangan berantem, harus saling sayang dan saling menjaga." Ucap teteh sambil memeluk Mila dan adek-adek. 

    Kadang Abi juga suka menyanyi nasyid sambil bersiul. Kami, anak-anak yang lagi ngepel dan nyapu semangat, itung-itung itu backshound yang mengiringi aktifitas kami. hehe. Iya dulu mah ndak ada HP. ada juga TIP (kadet gitu yang distel bulak balik. Hanya punya tiga kaset. Dua kaset isinya murotal Al Ghamidi dan Syekh Mathrud dan nasyid Raihan. 

    Setiap pagi, sore diputer-puter. Sebelum nasyid, pokoknya harus nyetel ngaji dulu. Surah Al Baqarah itu pasti distel. Lama juga kan, hampir tiga juz. 

    Hal itu ternyata nurun ke anak-anaknya. Anak-anaknya suka baca apa? WA, status di media sosial. Hadehhh. kadang-kadang baca buku juga ding.😁

    Walau jenjang pendidikan ummi kami hanya sampai Sekolah Dasar dan abi di jenjang SMP, mereka berdua memiliki tekad, anak-anaknya harus berpendidikan lebih tinggi daripada pendidikan mereka. 

    "Anak-anak ummi Abi kudu berpendidikan minimal S1. Begitupun dengan para calon menantunya. #eaa catet ya😉. Tetap yang lebih utamanya ad-diennya bagus. Sholeh, tutur katanya santun, hormat pada orang tua, berakhlak dan berpendidikan." Abi menasehati.

  Bagi kami, ummi dan abi adalah seorang profesor hebat di alam raya. Bagaimana tidak, setiap pagi Umi menyiapkan sarapan kami sebelum berangkat sekolah dan abi bekerja keras penuh tanggjawab untuk membayar biaya pendidikan kami. Sampai-sampai pada tahun 2016 kemarin Umi dan Abi membiayai anaknya dari semua jenjang pendidikan. Jenjang SD (Imut), SMP (Lukman), SMA (Fatimah), S1 (Mila) sampai S2 (Husnul). Bayangkan, Kalau bukan atas pertolongan Allah, tentu semuanya tidak bisa mereka biayai.

     Prinsip Abi, jika kita sudah punya impian, sudah punya azzam maka kita hanya berusaha dan  bertawakallah kepada Allah. Allah lah yang akan memberian jalan kepada kita untuk mewujudkannya (dari jalan yang tidak pernah disangka-sangka)

    Ucapannya betul, beberapa dari kami, bisa sekolah dan kuliah karena mendapat berbagai beasiswa. Mila sendiri (selama kuliah di UIN) mendapat berasiswa Kabupaten Tanggamus (2013, Lampung Peduli (2014), DIPA (2015), Beasiswa Bank Indonesia (2016)

     Buat Mila, keadaan ekonomi keluarga tidak boleh menjadi alasan untuk meraih pendidikan dan mewujudkan impian. Karena orang miskin bukanlah mereka yang tidak memiliki harta berlimpah, tapi orang miskin adalah mereka yang tidak memiliki impian daam hidupnya.

     Bagimana kelanjutan tulisan ini? Tunggu di postingan berikutnya. 😉🙏

Moga tetap sehat dan bahagia selalu ya

Salam
Milah Smart
Slide Designer Muslimah

Minggu, 04 Juli 2021

CERPEN 1 - BUNDA AIMAN


Cerpen Milah Smart


Aiman adalah anak yang periang. Tapi akhir-akhir ini, ia sangat pendiam. Bunda pun jadi heran. Ada apa dengan Aiman? Ketika Bunda hendak mengobrol dengan Aiman, ia pura-pura sibuk dengan mainannya.

Suatu sore, Aiman duduk di bangku taman, ia ditemani oleh buku komik Islami kesukaannya. Diam-diam ia memperhatikan bunda yang sedang menyiram bunga di taman. Ia gelisah menatap bunda. Terutama menatap benda peyangga dari kayu yang menopang kaki kananya Bunda.

Kaki kanan bunda memang diaputasi. Bunda ditabrak oleh mobil bus yang berlawanan dari arah lain, saat bunda melitas di jalan Raden Intan. Kejadian itu membuat Bunda tidak bisa berjalan lagi sampai sekarang. Kemana-mana Bunda selalu membawa kayu itu sebagai alat penyangka untuk membantunya berjalan.

Itulah kegelisahan Aiman. Pada pembagiaan rapor besok. Bundanyalah yang akan mengambilnya. Sebelumnya, memang ayah yang selalu menamani. Namun karena Ayah harus dinas keluar kota, Bunda yang akan menggantikannya.

Aiman malu mengajak bundanya yang cacat itu ke sekolahnya. “Apa kata teman-teman nanti saat aku membawa bunda ke sekolah” (guamnya dalam hati).

Sebenarnya Aiman sangat bangga dan sayang pada Bundanya yang pintar membuat nasi liwet untuk bekal sekolahnya. Teman-teman di sekolahnya pun sering memuji nasi buatan bundanya itu.

Saat ia di rumah, bundanya selalu menemaninya saat belajar. Maka tak heran jika Aiman selalu menjadi juara dan masuk tiga besar di kelasnya. Teman-teman Aiman ingin sekali bertemu juga berkenalan dengan bunda yang dibanggakannya itu.

“Man, jam berapa besok bunda harus mengambil rapormu?” Tanya Bunda.

“Beneran memangnya, Bunda yang akan mengambil raporku besok?” Aiman balik tanya.

“Iya. Kebetulan Ayah lagi sibuk dan harus keluar kota, jadi tidak bisa pulang untuk mengambil rapor Iman.” Jawab Bunda sambil memberi pengertian kepada Aiman. “Memangnya kenapa?” Tanya Bunda penasaran.

“Em,, Ndak apa-apa ko. Bu Guru bilang jam sepuluh.” Jawab Aiman seraya bangkit dari kursinya.

***

Esoknya, bunda menyiapkan nasi liwet kesukaan Aiman yang juga akan dibawanya ke sekolah. Semalam Abid dan Diki, teman-teman Aiman menelpon Aiman dan memintanya membawa nasi liwet buatan Bundanya itu. Mereka ingin orang tua mereka juga mencicipi bekal Aiman yang enak dan lezat itu.

“Ko, Iman belum siap? Nanti terlambat lo nak.”

“Bunda, Iman di rumah saja ya, Ndak udah ikut ambil rapor ke sekolah.”

“Lho kenapa?”

“Ndak ada apa-apa ko Bunda.”

“Kalau ndak ada apa-apa, kenapa Iman ndak mau ikut? Aiman mau ya, takut nilai rapornya ada merahnya?” tanya Bunda.

Bunda menatap punggung Aiman dengan sedih. Ia tahu anak satu-satunya malu untuk mengenalkannya pada teman-temannya di sekolah.

***

Selama diperjalanan menuju sekolah, wajah Aiman terlihat tegang. Pikiran-pikiran buruk melintas di kepalanya. Pasti teman-teman di sekolah akan mengejeknya setelah melihat bunda yang selalu dibanggakannya itu ternyata cacat.

Setibanya di gerbang SMPIT Daarul ‘Ilmi, Aiman hampir saja tidak mau turun. Namun bunda terus membujuknya.

Aiman dan Bunda, yang berjalan tertatih-tatih dengan kruknya, menuju lapangan itu. Aiman hanya menundukkan kepalanya dan tidak berani menatap teman-teman dan orang tua mereka.

“Assalamualaikum... Aiman, ini bunda yang sering kami ceritan itu?” Ucap Abid menyapa. Aiman hanya mengangguk.

“Tante, kenalkan ini ibunya Abid.”

Aiman melirik bunda dan ibunya Abid yang tengah berjabat tangan dan saling tersenyum.

Tak lama Diki, diikuti teman-temannya yang lain mengenalkan umi mereka pada Bunda. Ternyata kehadiran bunda disambut hangat oleh teman-temannya. Tak ada satu pun yang mempermasalahkan kaki Bunda yang catat.

“Aiman, kamu bawa pesanan kita ndak?” tanya Iqbal tiba-tiba.

Aiman tersenyum dan mengambil kotak besar berisi nasi liwet yang disiapkan Bundanya. Iqbal membuka dan mereka pun bersama bundanya makan bersama di terus sekolah.

“Resepnya apa sih bu?” Ko anak-anak kami jadi ogak bawa bekalnya sendiri.” Tanya Ibu Diki penasaran.

“Iya Bu, bekal Ilham, anak saya juga, mash sering utuh. Katanya sudah makan nasi liwet buatan Bundanya Aiman.” Sahut Bunda Ilham.

Aiman mendengar ucapan-ucapan para ibu tersebut. Hatinya mulai terbuka, meski bundanya cacat tapi banyak kelebihan yang dimiliki Bunda. Orang-orang pun tetap menghargainya.

Aiman merasa malu, karena dirinya telah berprasangka buruk bahwa orang-orang akan menjelekkan Bundanya. Ia juga merasa bersalah kepada Bundanya karena sempat merasa malu pada dirinya yang cacat.

Aiman menarik Bunda, sambil mendekatkan wajahnya. Sebuah ciuman kecil mendarat di pipinya Bunda. “Aiman bangga pada Bunda.” Ucapnya lirih. Hatinya lega dan bahagia.

----------------------

Dibukukan dalam buku Antoogi berjudul "Surat Terakhir" Juni 2021 oleh penerbit  kalanapublishing