 |
Cerpen Milah Smart |
Aiman adalah anak yang periang. Tapi akhir-akhir ini, ia
sangat pendiam. Bunda pun jadi heran. Ada apa dengan Aiman? Ketika Bunda hendak
mengobrol dengan Aiman, ia pura-pura sibuk dengan mainannya.
Suatu sore, Aiman duduk di bangku taman, ia ditemani oleh
buku komik Islami kesukaannya. Diam-diam ia memperhatikan bunda yang sedang
menyiram bunga di taman. Ia gelisah menatap bunda. Terutama menatap benda
peyangga dari kayu yang menopang kaki kananya Bunda.

Kaki kanan bunda memang diaputasi. Bunda ditabrak oleh
mobil bus yang berlawanan dari arah lain, saat bunda melitas di jalan Raden
Intan. Kejadian itu membuat Bunda tidak bisa berjalan lagi sampai sekarang.
Kemana-mana Bunda selalu membawa kayu itu sebagai alat penyangka untuk
membantunya berjalan.
Itulah kegelisahan Aiman. Pada pembagiaan rapor besok.
Bundanyalah yang akan mengambilnya. Sebelumnya, memang ayah yang selalu menamani.
Namun karena Ayah harus dinas keluar kota, Bunda yang akan menggantikannya.
Aiman malu mengajak bundanya yang cacat itu ke
sekolahnya. “Apa kata teman-teman nanti saat aku membawa bunda ke sekolah”
(guamnya dalam hati).
Sebenarnya Aiman sangat bangga dan sayang pada Bundanya
yang pintar membuat nasi liwet untuk bekal sekolahnya. Teman-teman di
sekolahnya pun sering memuji nasi buatan bundanya itu.
Saat ia di rumah, bundanya selalu menemaninya saat
belajar. Maka tak heran jika Aiman selalu menjadi juara dan masuk tiga besar di
kelasnya. Teman-teman Aiman ingin sekali bertemu juga berkenalan dengan bunda
yang dibanggakannya itu.
“Man, jam berapa besok bunda harus mengambil rapormu?”
Tanya Bunda.
“Beneran memangnya, Bunda yang akan mengambil raporku
besok?” Aiman balik tanya.
“Iya. Kebetulan Ayah lagi sibuk dan harus keluar kota,
jadi tidak bisa pulang untuk mengambil rapor Iman.” Jawab Bunda sambil memberi
pengertian kepada Aiman. “Memangnya kenapa?” Tanya Bunda penasaran.
“Em,, Ndak apa-apa ko. Bu Guru bilang jam sepuluh.” Jawab
Aiman seraya bangkit dari kursinya.
***
Esoknya,
bunda menyiapkan nasi liwet kesukaan Aiman yang juga akan dibawanya ke sekolah.
Semalam Abid dan Diki, teman-teman Aiman menelpon Aiman dan memintanya membawa
nasi liwet buatan Bundanya itu. Mereka ingin orang tua mereka juga mencicipi
bekal Aiman yang enak dan lezat itu.
“Ko,
Iman belum siap? Nanti terlambat lo nak.”
“Bunda,
Iman di rumah saja ya, Ndak udah ikut ambil rapor ke sekolah.”
“Lho
kenapa?”
“Ndak
ada apa-apa ko Bunda.”
“Kalau
ndak ada apa-apa, kenapa Iman ndak mau ikut? Aiman mau ya, takut nilai rapornya
ada merahnya?” tanya Bunda.
Bunda
menatap punggung Aiman dengan sedih. Ia tahu anak satu-satunya malu untuk
mengenalkannya pada teman-temannya di sekolah.
***
Selama
diperjalanan menuju sekolah, wajah Aiman terlihat tegang. Pikiran-pikiran buruk
melintas di kepalanya. Pasti teman-teman di sekolah akan mengejeknya setelah
melihat bunda yang selalu dibanggakannya itu ternyata cacat.
Setibanya
di gerbang SMPIT Daarul ‘Ilmi, Aiman hampir saja tidak mau turun. Namun bunda
terus membujuknya.
Aiman
dan Bunda, yang berjalan tertatih-tatih dengan kruknya, menuju lapangan itu.
Aiman hanya menundukkan kepalanya dan tidak berani menatap teman-teman dan
orang tua mereka.
“Assalamualaikum...
Aiman, ini bunda yang sering kami ceritan itu?” Ucap Abid menyapa. Aiman hanya
mengangguk.
“Tante,
kenalkan ini ibunya Abid.”
Aiman
melirik bunda dan ibunya Abid yang tengah berjabat tangan dan saling tersenyum.
Tak
lama Diki, diikuti teman-temannya yang lain mengenalkan umi mereka pada Bunda.
Ternyata kehadiran bunda disambut hangat oleh teman-temannya. Tak ada satu pun
yang mempermasalahkan kaki Bunda yang catat.
“Aiman,
kamu bawa pesanan kita ndak?” tanya Iqbal tiba-tiba.
Aiman
tersenyum dan mengambil kotak besar berisi nasi liwet yang disiapkan Bundanya.
Iqbal membuka dan mereka pun bersama bundanya makan bersama di terus sekolah.
“Resepnya
apa sih bu?” Ko anak-anak kami jadi ogak bawa bekalnya sendiri.” Tanya Ibu Diki
penasaran.
“Iya
Bu, bekal Ilham, anak saya juga, mash sering utuh. Katanya sudah makan nasi
liwet buatan Bundanya Aiman.” Sahut Bunda Ilham.
Aiman
mendengar ucapan-ucapan para ibu tersebut. Hatinya mulai terbuka, meski
bundanya cacat tapi banyak kelebihan yang dimiliki Bunda. Orang-orang pun tetap
menghargainya.
Aiman
merasa malu, karena dirinya telah berprasangka buruk bahwa orang-orang akan menjelekkan
Bundanya. Ia juga merasa bersalah kepada Bundanya karena sempat merasa malu
pada dirinya yang cacat.
Aiman
menarik Bunda, sambil mendekatkan wajahnya. Sebuah ciuman kecil mendarat di
pipinya Bunda. “Aiman bangga pada Bunda.” Ucapnya lirih. Hatinya lega dan
bahagia.
----------------------
Dibukukan dalam buku Antoogi berjudul "Surat Terakhir" Juni 2021 oleh penerbit kalanapublishing